Pendidikan inklusif merupakan program sekolah atau pembelajaran di mana anak-anak berkebutuhan khusus dapat belajar bersama dengan anak-anak lainnya. Tujuan dari pendidikan inklusif adalah untuk memenuhi hak asasi manusia mendapatkan pendidikan yang setara, meningkatkan kepercayaan diri dan menumbuhkan rasa toleransi. Secara filosofi pendidikan inklusif memiliki benang merah dengan eksistensisme, humanisme dan behaviorisme. Secara perundangan sudah diatur dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan,” dan ditambahkan juga dalam ayat (2) dalam pasal yang sama, bahwa “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”
Selanjutnya terkait dengan perlindungan anak, UU Sikdiknas 20 Tahun 2003, Permendiknas No. 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusi, Pasal 10 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 32 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru Pendidikan Khusus, “Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang memberikan kesempatan bagi peserta didik berkebutuhan khusus karena kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa untuk belajar bersama-sama dengan peserta didik lain pada satuan pendidikan umum maupun kejuruan. Dengan cara menyediakan sarana, tenaga pendidik, tenaga kependidikan dan kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan individual peserta didik.” Indikator nilai kebersamaan dalam praktik penyelenggaraan sekolah inklusif adalah pertama, sekolah menyediakan program yang dapat diakses, menantang dan layak bagi pelajar dengan tetap memperhatikan aspek kebutuhan khusus. Kedua, setiap siswa memiliki suasana yang damai dan harmonis dalam melakukan aktivitasnya di sekolah. Ketiga, aktivitas pembelajaran berdasarkan pada nilai perdamaian, demokrasi, hak asasi manusia, dan pembangunan berkelanjutan. Keempat, terdapat kepekaan sosial dan kesiapan akademis dari warga sekolah untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan dalam memberikan layanan pembelajaran. Kelima, sekolah harus menanggapi keberagaman siswa, baik dari latar belakang, tingkah lagu, maupun potensinya. Selanjutnya, pola pembelajaran bersifat kolaboratif sistemik (melibatkan peran kepala sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat). Terakhir, pola pembelajaran berbasis pada pendekatan pembelajaran berpusat pada anak.
Dalam sekolah inklusi ada 3 layanan untuk Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK) yaitu model identifikasi, asesmen, intervensi maupun penempatan dan tindak lanjut adalah alur yang tidak dapat dipisahkan. Misalnya tahapan awal dengan identifikasi, dalam konteks pendidikan khusus identifikasi merupakan proses menemukenali peserta didik sebelum yang bersangkutan mengikuti pembelajaran. Proses identifikasi peserta didik meliputi pengenalan kemampuan (awal), kelemahan atau hambatan dan kebutuhan untuk mengikuti pembelajaran selanjutnya. Proses belajar yang diberikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus adalah proses untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki peserta didik yang bersangkutan dengan meminimalkan hambatan yang dimilikinya. Tujuan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi apakah seorang anak mengalami kelainan/penyimpangan (fisik, intelektual, sosial, emosional, dan lain sebagainya. Hasil identifikasi akan menjadi dasar dalam proses pembelajaran bagi peserta didik yang bersangkutan. Identifikasi peserta didik dilakukan untuk lima hal, yaitu penjaringan (screening), pengalihtanganan (referal), klasifikasi, perencanaan pembelajaran, dan pemantauan kemajuan belajar.
Selanjutnya jika diperlukan asesmen penting juga sebagai upaya untuk mengetahui kemampuan-kemampuan yang dimiliki, dengan tes, observasi dan wawancara. Layanan intervensi juga diperlukan untuk menangani hambatan belajar dan hambatan perkembangan akibat ketunaan, agar mereka dapat berkembang secara optimal. Dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar hendaknya disesuaikan dengan model penempatan PDBK yang dipilih berdasarkan hasil asesmen. Penempatan kegiatan belajar dalam kelas bersama-sama peserta didik lainnya adalah cara yang sangat inklusif; non-diskriminasi dan fleksibel; sehingga guru harus membuat rancangan kegiatan pembelajaran dengan mempertimbangkan modifikasi dan adaptasi yang dibutuhkan. Dalam kenyataannya pelayanan anak berkebutuhan khusus tidak hanya mengenai peserta didik dengan hambatan belajar karena cacat fisik. Peserta didik dengan hambatan belajar bersifat temporer atau karena pengaruh trauma, gangguan mental dan psikologis juga merupakan anak berkebutuhan khusus. Maka sekolah sangat penting untuk menambah kompetensi di bidang pelayanan anak ABK. Dengan melakukan tindakan preventif mengidentifikasi gejala-gejala anak dengan hambatan belajar, memudahkan antisipasi masalah yang akan timbul di kemudian hari. Kita menyadari dengan berkembangnya jaman, banyak tekanan dialami peserta didik yang menimbulkan stress. SMK Negeri 1 Tuntang sangat peduli dengan kondisi psikologis peserta didiknya. Maka sekolah sangat toleran dan mendukung sekolah inklusi.
Untuk mempersiapkan sekolah inklusi memang tidak mudah karena ada beberapa tahap yang harus dilakukan. Salah satunya adalah dengan melatih tenaga trampil. SMKN 1 Tuntang menugaskan salah satu guru untuk mengikuti Pelatihan Guru Pembimbing Khusus. Pelatihan atau bimbingan teknis ini diadakan oleh Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, yang dapat diakses melalui SIMPKB. Pelatihan ini menggunakan media LMS yang konsisten dalam beberapa pertemuan. Setiap pertemuan akan dibahas beberapa topik utama dalam pemahaman konsep sekolah inklusi. Sehingga peserta benar-benar memahami, pada tahap selanjutnya yaitu pelatihan teknik akan lebih mengimplementasikan hasil pemahaman ke dalam praktek pelayanan sekolah inklusi.
Penulis : Naomi Ambarwati, S.Th., Guru SMKN 1 Tuntang
Editor : Nurul Rahmawati, M.Pd., Guru SMKN 1 Tuntang