Hari keempat lebaran, suamiku menjemput kami dan kami kembali ke Salatiga. Seperti biasanya, usai libur lebaran kami kembali beraktivitas. Dengan penuh cinta kami menjalani kehidupan kami.
Hari itu aku mendapatkan tugas dinas luar selama 4 hari ke Bandung. Aku dikirim untuk mengikuti pelatihan peningkatan kompetensi guru. Aku menyiapkan segala keperluan suami dan anak-anakku selama aku tinggal ke Bandung. Ibu mertuaku datang ke rumah untuk menemani anak-anakku, karena aku sendiri tidak tega jika hanya mbak yang membantu kami yang merawat mereka. Suamiku sering lembur pulang sore, sementara si kecil sangat jarang jauh denganku. Bahkan jika aku harus mengikuti pelatihan ke Semarang, aku pulang setiap malam. Bus malam setia mengantarku sampai tujuan. Suamiku mengantar dan menjemputku di halte.
Aku berangkat ke Bandung bersama dua orang guru dari kota yang sama. Aku duduk dan menunggu di dekat pintu lobi sebuah hotel bersama peserta yang lain karena kegiatan itu dilaksakan di sana.
Tampak dari depan lobi, sebuah mobil hitam berplat Bandung dibuka pintuya. Seorang laki-laki tinggi dan agak gemuk turun dari mobil itu. Dia membalik. Dan betapa terkejutnya aku ternyata laki-laki itu Ahmad.
“Ngapain dia ke sini?” tanyaku dalam hati.
Dia memasuki lobi hotel itu dan dia juga terlihat dangat terkejut melihatku ada di hotel yang sama dengannya.
“Putri, kamu di sini juga, acara apa?” tanya Ahmad dengan kondisi masih terkejut yang terlihat dari raut mukanya.
“Ada pelatihan yang harus aku ikuti, kamu sendiri mengikuti acara apa?” Aku balik bertanya.
“Aku memberikan materi ditlatsar. Alhamdulillah
kita bisa bertemu kembali,” jawabnya kemudian.
“Kamu tidak menghubungiku kalau ada di Bandung?” lanjutnya.
Aku diam. Setelah mendaftar ulang pada panitia, aku menuju ke kamar peserta yang lain. Selama 4 hari pelatihan aku tak bertemu Ahmad, hanya sesekali dia WA aku menanyakan bagaimana kondisiku. Hari terakhir setelah penutupan kami bertemu kembali di tempat makan hotel itu.
Ahmad mendekatiku dan menggeser kursi di dekatku yang kosong. Kami makan bersama siang itu. Aku masih ingat dulu aku pernah makan bersama dengannya di kantin sekolah. Kami tertawa mengenang masa itu. Kami saling bercerita tentang keluarga kami masing-masing. Sesekali dia menyinggung masa lalu kami. Aku berusaha menghindari pembicaraan. Ahmad juga menjelaskan mengapa saat reuni dia begitu dingin padaku. Menurutnya, setiap kali bertemu denganku dia tidak bisa berbicara.
“Kamu tahu mengapa saat reuni kemarin aku mendiamkanmu, sebenarnya aku ingin bercerita denganmu setelah sekian lama tak berjumpa denganmu. Tapi keberanianku terbungkam. Sama seperti dulu saat pertama kali aku akan mengatakan perasaanku padamu, aku tidak bisa, lidahku terasa kelu setiap bertemu denganmu,” jelasnya.
“Istrimu tahu cerita masa lalumu,” tanyaku.
“Aku pernah bercerita padanya. Dia memahamiku dan dia berusaha menjadi yang terbaik untukku. Itulah alasan mengapa aku memilihnya,” jawab Ahmad.
“Istrimu sangat luar biasa,” kataku kemudian.
“Sudahlah, masa lalu kita, biar menjadi masa lalu. Kita sudah berkeluarga dan masing-masing kita sudah menemukan kebahagiaan. Kalau kita menuruti perasaan kita sendiri, kita akan kehilangan keluarga kita. Aku bertahan, mempertahankan hatiku untuk suamiku. Aku pun agak goyah sejak kamu telepon beberapa waktu lalu. Tapi keyakinan hatiku bahwa suamiku adalah yang terbaik, itu yang membuat aku semakin kuat dan yakin bahwa Allah memang memilihkan aku dengan laki-laki terbaik. Aku tidak mungkin mengkhianati suamiku, demikian pula sebaliknya kamu. Apalagi kamu juga pernah merasakan sakitnya dikhianati istrimu yang pertama,” jelasku sambil menghela napas panjang.
Aku melanjutkan pembicaraan dan dia menjadi pendengar setianya.
“Andai saja kamu tahu betapa berat rasanya aku mempertahankan hatiku untuk tidak terlena setelah kamu telepon dulu itu. Aku kuatkan hatiku untuk tidak lemah. Perjuangan hatiku sungguh sangat berat. Kekuatanku hampir saja pudar kalau saja Allah tidak mengingatkan aku.”
Aku bercerita pada Ahmad saat-saat di mana aku benar-benar memikirkan dia. Aku betul-betul lemah saat itu. Lemah hatiku. Aku salah telah memikirkan Ahmad dalam hari-hariku. Sejak peristiwa itu aku menyesal. Penyesalan yang sangat dalam dan hanya aku dan Allah yang tahu bahkan suamiku pun tak mengetahuinya. Aku mengadu hatiku pada Allah. Hanya Allah hatiku saat itu.
Aku kembali berbicara pada Ahmad.
“Di tengah kegundahanku aku mengambil al- quran. Kubuka surat An-Nisa. Ayat pertama menggetarkan hatiku. Aku masih ingat arti ayat itu. Hai sekalian manusia, bertawakallah kepada Tuhan-Mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kamu kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian.”
“Ayat itu aku renungkan dalam-dalam. Dalam sekali. Hatiku benar-benar gundah. Aku tak pernah membayangkan hal ini akan terjadi. Masa lalu yang mengusikku. Ada ketakutan menyelimutiku. Aku harus kuat, menyambung silaturahmi hanya itu saja, tidak yang lain.”
“Aku berharap kita menjadi saudara saja, suatu ketika mungkin kita akan bertemu kembali bersama dengan keluarga kita. Tetaplah ingat padaku karena aku tak pernah melupakan kamu, kamu sebagai saudaraku.”
Ahmad mengangguk, dia berusaha memegang tanganku. Ada kekuatan besar menarik tanganku. Entah dari mana aku tak tahu, mungkin malaikat yang dikirim Allah untuk tetap menjaga hatiku untuk suamiku.
“Kekagumanku padamu semakin bertambah, kamu masih tetap seperti dulu. Lembut tetapi punya kekuatan hati dan tekad yang kuat. Aku sangat bangga pernah mengenalmu dan pernah mengisi hatiku. Maafkan aku yang telah mengganggumu,” lanjut Ahmad.
Ahmad dan aku hanya berpandangan, dalam sekali. Dalam hati kami masing-masing menyimpan cerita yang indah. Namun kami pun berjanji mengubur cerita itu. Kami berpamitan. Aku pun berharap aku tak akan bertemu dengannya. Aku tak mau goyah lagi. Aku sudah membulatkan tekad untuk melupakan dirinya karena aku yakin kami tidak berjodoh.
Dalam perjalanan pulangku dari Bandung Aku meyakinkan diriku. Aku bulatkan tekad. Aku tak mau memendam kegundahan hatiku. Aku ingin bercerita pada suami dan anak-anakku betapa aku sangat menyayangi mereka.
Penulis : Puji Prasetyowati