Sore ini setelah satu minggu dinas luar suamiku pulang. Aku bersikap seperti biasanya. Seakan tidak ada yang terjadi. Rutinitas kami berjalan seperti biasa. Tak ada yang aku pikirkan lagi. Bahkan peristiwa yang terjadi yang sempat membuat perasaanku kalut, saat suamiku pergi, sudah aku kubur lagi. Tak ingin aku mengingatnya lagi.
Waktu terasa begitu cepat. Hingga tak terasa lebaran tiba. Kami selalu berlebaran ke rumah Bapak Ibu di kampung. Lebaran pertama kami berkunjung ke rumah saudara-saudara di sana. Anak-anak selalu kami bawa ke rumah saudara-saudara saat lebaran agar mereka saling mengenal. Seharian itu kami habiskan untuk berkunjung ke rumah saudara kami karena malamnya, suamiku akan pulang ke kampung asalnya, saudaranya ada yang menikahkan putrinya.
Kami berempat ditinggal di rumah ibuku. Hari kedua lebaran, ada undangan reuni dari teman SMA-ku. Sebenarnya aku ragu untuk datang. Kalau aku datang berarti aku akan ketemu Ahmad, tapi kalau aku tidak datang aku takut dikira pengecut tidak berani bertemu dengan Ahmad.
Aku putuskan untuk datang di acara tersebut setelah meminta izin suamiku melalui telepon. Dan Alhamdulillah suamiku memperbolehkan aku datang.
Bersama anakku yang bungsu aku menghadiri reuni itu. Aku berkerudung ungu dan bergamis ungu sementara putriku berpakaian senada denganku. Kami bersama dengan Tuti, tetanggaku yang kebetulan dulu sekelas denganku saat SMA. Dia datang sendiri karena suaminya tidak mau ikut reuni itu. Akhirnya kami bertiga berangkat.
Lewat grup WA, aku menyaksikan foto-foto teman-teman yang sudah hadir. Ahmad berfoto di depan mobilnya. Demikian juga yang lain saling berfoto bersama. Selama perjalanan Tuti banyak bicara, cerita- cerita tentang hidupnya. Sesekali aku mengiyakan, aku lebih banyak diam dan sibuk membaca komentar di grup. Akhirnya kami tiba di lokasi reuni. Aku turun bersama putriku dan Tuti. Kami bertiga berjalan mendekati teman-teman kami yang telah berkumpul. Ahmad berdiri di samping dua laki-laki yang sudah aku lupa namanya. Maklum, sudah lama kami tak berjumpa.
Kami datang tanpa pasangan. Kesepakatan tahun ini datang tanpa pasangan.
“Assalamualaikum,” salamku pada mereka.
“Waalaikumsalam Wr. Wb.” Mereka menjalawab salamku.
Mereka berusaha menyalamiku, tetapi aku menolak halus. Aku tekuk kedua tanganku dan telapak tanganku kusatukan, kuletakkan di depan dadaku sebagai tanda bahwa aku menerima salam mereka. Dan mereka memahami pilihanku.
“Masih ingat kami, nggak?” tanya mereka. Aku tersenyum dan menggeleng.
“Maaf kalau wajahnya masih ingat tapi lupa namanya, maaf ya,” kataku meminta maaf.
“Kalau kami, kamu pasti lupa, coba dengan Ahmad, kamu pasti tak pernah lupa,” celoteh mereka.
“Hahaha.” Ahmad tertawa begitu keras.
“Dia menunggumu sejak tahun kemarin loh, Put,” kata yang lain.
Lagi-lagi aku tersenyum, menyembunyikan perasaanku.
Mereka mengajak kami masuk, ternyata di dalam sudah begitu banyak yang datang. Setelah menunggu hampir setengah jam, acara reuni pun dimulai. Aku mengambil tempat di tengah teman-teman wanitaku. Kami mengobrol banyak hal. Aku amati Ahmad beberapa kali, dia pun sibuk mengobrol dengan teman-temannya. Sesekali kedengar tawa mereka. Entahlah apa yang mereka bicarakan aku pun tak tahu.
“Ayo-ayo yang dulu menjadi dambaan hatinya datang, ayo dekati,” goda temann-teman.
Beberapa temanku juga menggodaku tetapi aku hanya tersenyum. Mereka ternyata sudah mengetahui cerita kami, aku dan Ahmad. Biarlah mereka mengetahuinya, toh itu juga cerita lalu. Hanya masa lalu.
Ahmad merekam kegiatan itu sambil sesekali berbicara dan tertawa. Begitu sampai di depanku, dia memanggil namaku, menyuruhku untuk tersenyum dan melambaikan tanganku. Aku menurutinya. Hatiku bergetar, ada rasa rindu yang meyelimutiku.
Selama acara, tak ada percakapan yang begitu berarti antara aku dengan Ahmad. Dia hanya memanggil namaku dan menyuruhku untuk tersenyum saat merekam, itu saja.
Akhirnya acara selesai. Beberapa teman kami sudah pulang, tinggal kami bertujuh. Aku, putriku, Tuti, Wulan, Lukman, Ahmad, dan Agus. Aku sendiri belum bisa pulang karena masih menunggu Tuti yang berbicara dengan Wulan. Sambil menunggu Tuti berbicara dengan Wulan, aku minta izin pada mereka utuk salat zuhur dengan putriku. Aku mengajak mereka untuk berjamaah, tetapi mereka masih sibuk berbicara.
Selesai salat, aku menuju tempat parkir. Mereka menunggu kami, aku dan putriku.
“Dik, Om ini calon papamu dulu loh,” kata Wulan.
Putriku bingung dan diam. Aku sendiri diam karena tak menduga Wulan akan mengatakan hal itu pada putriku. Sementara Ahmad juga hanya diam dan terkesan tak memperhatikan aku. Betul-betul sikap dia sangat dingin padaku. Kuakui ada rasa kecewa dengan sikapnya yang seperti itu. Dalam hati sebenarnya aku berharap aku bisa bercerita akrab dengannya seperti keakrabanku pada teman-temanku yang lain. Ada perasaan canggung di antara kami. Perasaan yang canggung, meski kami sudah mengetahui bagaimana perasaan kami masing-masing lewat telepon kami sebelumnya.
Malamnya, sebelum tidur putriku bertanya.
“Bu, tadi Tante Wulan bilang, kalau om itu calon papaku dulu, emang kenapa?” tanya putriku.
Aku diam karena tak menduga putriku bertanya seperti itu. Ternyata dia masih mengingat kalimat yang dikatakan Wulan siang tadi.
“Tante Wulan itu sukanya bercanda, Dik, nggak usah dipikir ya,” pintaku.
Putriku menggeleng. Aku mengecupnya, berharap dia melupakan pertanyaan yang mungkin sempat menggelitik hatinya hari itu. Cerita hari itu hanya aku dan putriku yang tahu.
Penulis : Puji Prasetyowati