Sejak peristiwa itu, aku cenderung mendiamkan Ahmad. Aku malas berbicara dengan dia. Setiap kali dia mengajakku jajan ke kantin, aku menolaknya. Hingga suatu saat aku dipaksa dan akhirnya aku mengikuti ajakannya. Bahkan ketika beberapa kali dia main ke rumah, aku banyak mendiamkannya. Kujawab jika dia bertanya, kalu tidak selebihnya dia banyak bercerita dan aku menjadi pendengar setianya.
Kami berjalan berdua di antara koridor yang menghubungkan kelas dengan kantin. Beberapa teman yang berpapasan dengan kami tersenyum, dan kubalas senyum mereka seerti biasa. Setiba di kantin, dia memesan bakso dan es teh, aku pun mengikutinya.
“Put, mengapa kamu akhir-akhir ini mendiamkanku? Aku salah ya?” Dia memulai pembicaraan.
Aku melanjutkan makanku. Aku menatapnya.
Ahmad menatapku tajam, meminta jawaban.
“Ahmad, aku menganggapmu teman seperti yang lain, Bagiku teman itu lebih enak, tidak dibebani perasaan apa pun,” jawabku.
“Tapi kamu kan tidak harus mendiamkan aku. Kamu tahu betapa sakitnya hatiku, saat kamu bersikap seperti itu. Kamu tentunya sudah tahu dari cerita Wiwin bagaimana perasaanku padamu. Maaf saat itu aku nggak berani mengungkapkan hatiku secara langsung,” lanjut Ahmad.
“Sudahlah, ndak papa, yuk aku dah selesai makan, kita kembali ke kelas ya,” ajakku.
Ahmad membayar bakso yang kami makan dan kami pun kembali ke kelas.
Sejak saat itu Ahmad pun diam dan aku pun diam. Kami sibuk dalam pelajaran dan tugas masing- masing. Meski aku tahu setiap saat tanpa aku sengaja aku melihat dia mencuri-curi pandang padaku. Dia menyanyi lagu-lagu yang menyatakan rasa hatinya yang bertepuk sebelah tangan. Sering dia mengirim surat untukku, karena memang saat itu belum ada HP atau alat komunikasi lain. Kubalas sesekali.
Hari-hari berlalu, akhirnya kami pun berada di kelas 3 SMA dan kami tetap satu kelas. Perasaanku mulai goyah pada Ahmad. Ada sesuatu yang kurasakan jika sehari saja Ahmad tidak bernyanyi. Dulu saat dia bermain dengan teman-teman perempuan, aku biasa-biasa saja. Kini ada getaran-getaran halus yang kurasakan. Perasaan itu mulai aku rasakan pada suatu malam saat aku selesai mengerjakan tugas akuntansi. Aku biasa mendengarkan radio sebelum tidur. Kebetulan malam itu aku mendengarkan lagu-lagu kenangan. Ahmad mengirimkan lagu untukku. Kunikmati alunan lagu itu, hingga tak terasa aku menangis. Entahlah perasaan apa itu.
Aku malu mengakui perasaanku padanya. Aku diam. Hingga suatu malam, Jumat malam, setelah aku belajar, aku menulis surat untuk dia. Kuungkapkan segala rasa hatiku.
Untuk Ahmad.
Ahmad, maafkan aku, selama ini aku mendiamkanmu. Tapi ketahuilah bahwa akhir-akhir ini ada rasa aneh yang kurasakan. Entahlah, aku tak tahu, kadang aku kangen mendengar suaramu. Aku tahu kegigihanmu untuk memperjuangkan hatiku. Aku paham hingga akhirnya aku pun menyadari kalau aku juga mencintaimu. Maafkan aku. Aku tetap berharap kita tetap konsisten belajar ya, karena sebentar lagi ujian.
Putri.
Kulipat dengan rapi. Kusiapkan amplop warna hijau muda bergambar gadis cantik memegang bunga. Harum sekali bau kertas dan sampul itu. Aku tersenyum, kudekap sekali lagi surat itu sebelum aku tidur. Aku berencana memberikan surat itu pada Ahmad dan aku titipkan pada Agus teman duduknya.
Pagi itu aku berangkat sengaja lebih awal. Aku bergegas menemui Agus. Ternyata dia juga mencariku.
“Put, ada surat untukmu?” kata Agus. “Dari siapa?” tanyaku penasaran.
“Biasa, Ahmad. Cepat dibaca ya,” lanjut Agus.
Kuurungkan niatku memberikan suratku setelah aku menerima surat Ahmad. Aku sudah bergetar menerima surat itu. Kubuka pelan sampul surat itu dan kukeluarkan isinya. Segera aku duduk dan kubaca surat itu. Bumi seakan menggulung, air bah seakan menelanku.
Putri
Setelah sekian lama aku menunggumu tanpa tahu bagaimana sebenarnya hatimu. Kini aku mendapatkan wanita lain yang lebih darimu. Dia adalah teman sekelas kita. Dia juga mencintaiku. Aku berharap agar aku dan dia bisa bersama. Selamat tinggal.
Ahmad
Hatiku hancur. Aku ingin menangis tapi aku malu. Betapa hancur hatiku saat itu. Saat aku telah membuka hatiku untuk Ahmad dengan memberikan surat itu, ternyata di saat yang sama dia sudah memilih gadis lain yang ternyata satu kelas denganku. Ahmad, teganya kamu pada diriku. Setelah aku berusaha membuka hatiku, di saat aku ingin mengakui rasa itu, di saat yang sama pulalah kamu sudah bersama dengan Wati, teman sekelasku yang sama-sama borju denganmu.
Hari itu aku benar-benar sedih, sangat sedih. Saat pelajaran aku menunduk saja. Aku hanya membolak- balik buku saja, menyembunyikan hatiku yang ingin menangis. Dan dua guru yang mengajar kami siang itu menangkap kegundahan hatiku dan menanyakan mengapa aku tidak seperti biasanya. Aku menjelaskan bahwa aku agak kurang sehat, pusing.
Saat pulang sekolah aku pun sengaja pulang lebih akhir, karena aku nggak mau teman-temanku tahu kegelisahan hatiku. Wiwin bertanya mengapa aku bersedih. Aku diam dan tak mau menceritakan hal itu padanya. Kelas mulai sepi. Aku tidak menghiraukan sekelilingku, bahkan aku pun tak memperhatikan Wiwin saat pulang. Aku menyuruhnya pulang duluan, alasanku aku dijemput kakak. Aku berjalan gontai sendirian. Sekolah benar-benar sudah agak sepi. Hanya ada beberapa siswa yang masih di lapangan karena mengikuti ekstra basket. Ruang guru pun sudah sangat sepi. Sama sepinya dengan hatiku saat itu.
Begitu sampai rumah, surat yang rencananya aku berikan ke Ahmad aku bakar di halaman belakang. Aku bakar dalam kesedihan. Aku menangis. Apakah ini hukuman yang diberikan padaku, setelah sekian lama Ahmad aku diamkan. Hatiku remuk, hancur tak berbatas. Pagi hari aku berangkat sekolah seperti biasa.
Kebetulan hari itu gerimis. Turun dari angkot aku berlari kecil menuju kelas. Aku lupa membawa payung. Hingga aku di lapangan dekat kelasku, aku melihat Ahmad berpayung berdua dengan Wati. Aku berhenti, ingin rasanya aku menangis melihat mereka. Aku berteduh di kelas IPA 1 sambil kuperhatikan mereka. Aku membiarkan mereka sampai masuk kelas. Setelah itu aku baru masuk kelas dengan seragamku yang agak basah sedikit. Aku melihat Ahmad dan Wati duduk bersebelahan. Bercerita dan tertawa bersama.
Akhirnya hari yang diawali dengan pandangan yang menyakitkan itu selesai juga. Dan peristiwa yang sama aku lihat selama hampir 6 bulan. Akhirnya aku sadar bahwa aku bersalah dan aku harus mengalah. Kubiarkan mereka bersama. Ahmad dan Wiwin bersama hingga kami lulus. Aku lulus dengan nilai yang sangat memuaskan namun dengan hati yang remuk redam. Dan rasa itu masih aku simpan hingga aku kuliah semester 1.
Aku pergi ke kota menuntut ilmu dan bertekad melupakan Ahmad.
Penulis : Puji Prasetyowati