“Putri, dah kusampaikan salamnya. Katanya salam hangat dan salam kenal,” kata Mbak Kus saat berpapasan denganku siang itu di lapangan depan kampus. Aku bingung apa maksudnya. Siapa yang dimaksud.
“Salam untuk siapa ya, Mbak?” tanyaku.
“Weh, lupa ya, katanya nitip salam untuk Andre!” kembali Mbak Kus mengingatkan.
Kupikir lagi, siapa ya. Belum sempat aku bertanya, Mbak Kus berkata, “Buat Andre. Ingat toh. Tuh orangnya di lantai dua.”
Aku menoleh ke belakang dan melihat ke lantai dua.” Oh ya, Mbak, aku lupa, makasih ya Mbak,” kataku kemudian.
Dari jauh agak samar aku melihat Mas Andre. Silau mataku karena matahari sangat terik siang itu. Aku tersenyum ketika melihat Mas Andre melambaikan tangannya sambil tersenyum dari lantai dua. Kubalas lambaian dan senyumnya.
“Makasih ya, Mbak. Maaf tadi aku lupa. Soale kemarin itu nitip salamnya hanya sambil bercanda aja.” Kuakhiri pertemuanku dengan Mbak Kus karena aku sudah sangat capek mengikuti kuliah siang itu. Aku kembali ke kost sedangkan Mbak Kus meneruskan aktivitasnya di kampus.
Begitu aku sampai di kost kuambil kunci kamar. Kubuka jendela kamar agar udara bisa sedikit mengurangi hawa panas waktu itu. Selembar koran kupakai untuk menghilangkan keringat dan kurebahkan rasa penat. Mau salat zuhur, wajahku terasa masih panas.
“Salat nanti saja lah,” kataku dalam hati.
Kuingat-ingat kejadian tadi bagaimana aku sampai menitip salam untuk Mas Andre. Ketemu sudah beberapa kali tapi berbicara kami tak pernah. Kebetulan waktu itu ada kegiatan untuk mahasiswa baru. Sebagai mahasiswa baru yang wajib mengikuti jadwal kegiatan di kampus aku mengikuti kegiatan tersebut. Kebetulan dia sebagai ketua panitianya. Saat itu aku hanya tahu sebatas itu.
Setelah dua minggu penuh mengikuti kegiatan, Mbak Kus yang memang sudah aku kenal sejak dulu karena dia adalah kakak kelasku sejak SMP, mengajakku bermalam di rumah saudaranya di daerah Semarang bawah. Aku mau aja sekalian mengenal kota Semarang. Saat itulah aku dan Mbak Kus bercerita banyak hal.
“Gimana, Sin, kegiatannya?” tanya Mbak Kus.
“Ya, begitulah Mbak, capek, tapi banyak pengalaman,” jawabku sambil menggeser bantal.
“Yang jadi ketua panitianya itu temanku loh, Sin,” kata Mbak Kus.
“Oh, ya to Mbak, tak pikir dia jurusannya lain,” jawabku seenaknya.
“Ndak ya, namanya Andre to?” katanya kemudian.
Aku mengangguk. “Salam ya, Mbak, untuk Mas Andre.”
“Ya,” jawab Mbak Kus.
Tak ada pembicaraan lanjut tentang Mas Andre, hanya berakhir sampai di situ. Karena kami segera tidur. Aku tersenyum sendiri mengingat kejadian itu. Kupikir dulu hanya salam iseng saja ternyata setelah dua minggu kemudian aku diingatkan lagi dengan hal itu.
Begitu penat di badanku sudah hilang aku menuju ke kamar mandi untuk mengambil air wudu. Selesai salat aku beristirahat seperti biasa dan hingga malamnya menjalani rutinitasku sebagai anak kost di kota yang baru kukenal beberapa minggu ini.
Waktu bergulir seiring rutinitasku sebagai mahasiswa baru. Banyak pengalaman baru yang kudapat. Dari mulai teman yang beragam dari berbagai daerah, mata kuliah, cara belajar, dan masih banyak lagi yang kudapat. Dari situ pun akhirnya aku mendapat beberapa sahabat baik.
Siang itu, sambil menunggu mata kuliah kedua aku dan beberapa temanku duduk-duduk di tangga lantai dua. Cerita yang disampaikan si Dudung seru banget bahkan komting kami pun sampai tak kuat menahan air matanya saking lucunya cerita itu dan melihat gaya bercerita Dudung. Dudung memang ulung bercerita. Kalau saja ada kontes pencarian bakat dalam bercerita pastilah Dudung masuk sebagai finalis.
Serunya cerita Dudung terhenti karena dari lantai dua terdengar lagu ulang tahun yang dinyanyikan oleh beberapa mahasiswa. Beberapa kakak kelas turun ke lantai satu. Karena kami memang duduk di tangga itu, maka cerita kami agak sedikit terganggu. Tapi tak apalah, karena kami memang salah, duduk di tempat yang tidak semestinya. Dan salah satu yang turun adalah Mas Andre. “Mau permen? Ni yang ulang tahun Andre.” Tina, kakak kelas, menyodorkan beberapa permen untuk kami.
Dasar anak kost, begitu dapat permen gratisan langsung saja disergapnya hingga tak tersisa satu pun. Tapi karena mungkin bukan rezekiku, begitu aku mau ngambil, eh permennya habis.
“Kasihan deh, ndak kebagian,” kata beberapa temanku.
Sambil mengulum permen kami sampaikan ucapan selamat ulang tahun pada si Andre. Aku pun menyalaminya.
“Mau permen?” tanya Andre “Kan udah habis,” kataku.
“Kasihan, tapi aku masih punya, tapi di rumah.
Besok tak bagi khusus untuk kamu. Oke?!” kata Andre.
Jumat pagi, seperti biasa aku akan menghampiri temanku yang kebetulan kostnya bersebelahan denganku. Sampai di pintu gerbang kost aku kaget karena Mas Andre sudah menungguku di situ. Sambil membawa sebuah bungkusan kecil dia berkata. “Kemarin kan kamu belum kebagian permen, ni khusus untuk kamu, permen ini semanis dirimu,” kata dia.
Aku kaget. Aku aja ndak kepikiran sampai ke situ. “Makasih ya, Kak!” sambil kuterima permen itu. “Kok tahu kalau kostku di sini?” tanyaku penasaran.
“Detektif selalu tahu di mana posisi yang diincar,” jawab Mas Andre sambil tersenyum.
“Mas Andre, bisa saja. Ndak ada jam pagi?” lanjutku.
“Ada. Kamu ada juga kan? Mari berangkat bersama,” ajak Mas Andre.
“Terima kasih, Mas, Aku sudah janji sama Titin untuk berangkat bareng,” sahutku menghindar.
“Tapi lain kali jangan menolak ya,” lanjut Mas Andre. Aku tersenyum.
“Ok, selamat menimba ilmu,” jawab Mas Andre.
Demikian hari-hariku sebagai mahasiswa di sebuah kampus dengan segudang tugas setiap akhir pekan. Bersama dengan teman lain bahkan dengan kakak angkatan kami sering diskusi. Untung saja ada Mas Andre yang selalu membantu kami. Meski Mas Andre bukan seangkatanku tapi dia sering membantuku menemani ke perpustakaan meski jika kuperhatikan dia hanya sering sekadar membaca bacaan ringan. Dari situ hubungan pertemanan kami semakin dekat.
Hingga pada suatu ketika, saat aku menapaki tangga demi tangga ke lantai tiga, Angel, teman seangkatanku namun lain jurusan menghadangku.
“Dasar munafik, kelihatan aja manis, lembut. Tapi ternyata penggoda!” semprot Angel padaku.
“Maksudmu apa?” tanyaku.
“Oh, dasar penggoda! Sok tanya lagi. Udah tahu salah masih saja berlagak!” hardik Angel.
“Apa, Angel? Aku tak tahu maksudmu!” lanjutku. “Kamu itu ya, suka menggoda pacar orang. Dasar
orang kampung! Tahu nggak aku udah lama berteman dengan Andre. Aku berharap Andre pasanganku. Eh, akhir-akhir ini kulihat kamu nempel terus sama Andre!” lanjut Angel dengan wajah memerah.
Aku merasa tidak ada sesuatu yang khusus, maka tak kutanggapi ocehannya. Biarlah anjing menggonggong, aku tetap berlalu. Aku pun tetap bersahabat dengan Mas Andre seperti dengan teman- teman lain. Belajar, diskusi, ke perpustakaan bersama dengan Mas Andre, juga dengan beberapa yang lain.
Meski tak kutanggapi ocehannya hari itu, namun aku menjadi tidak nyaman ketika Angel mulai menerorku. Lewat sms, lewat fb, bahkan dia mengirimiku barang-barang tajam. Merinding juga aku. Aku benar- benar takut bagaimana kalau si Angel nekat berbuat jahat padaku. Mendengar berita di televisi tentang nekatnya seseorang saja aku takut apalagi kini aku menghadapinya sendiri.
Hingga suatu saat kusampaikan hal itu pada Mas Andre ketika kami harus mengikuti mata kuliah yang sama. Aku sengaja sms Mas Andre agar mencari tempat duduk agak belakang dan bisa duduk berdekatan. Selesai mengikuti kuliah siang itu kuamati Mas Andre. Sementara teman-teman lain satu per satu mulai meninggalkan ruangan itu, kuceritakan semua ke Mas Andre. Dia tersenyum menanggapi ceritaku. Selama ini yang aku tahu, Mas Andre itu berpenampilan tenang maka ketika mendengar ceritaku pun dia tenang. Dia malah menggeser tempat duduknya semakin mendekatiku.
“Sudahlah, biasa saja. Angel itu temperamen, ndak seperti kamu,” kata Mas Andre.
“Aku kan ndak enak, Kak. Padahal kita kan hanya berteman biasa,” lanjutku.
Mas Andre memandangku dengan tatapan yang sangat tajam yang belum pernah dia lakukan padaku. Aku kikuk, kugeser dudukku. Aku salah tingkah. Hatiku bergetar menatap matanya. Kenapa aku jadi seperti ini, aku juga tak tahu.
“Putri, kamu hanya menganggapku teman saja? Tak tahukan rasa yang kupendam dalam hatiku. Sudah lama namamu mengisi sudut hatiku. Sejak pertama aku melihatmu saat kegiatan mahasiswa baru, ada yang lain yang kurasakan tentangmu. Namun aku belum berani mendekatimu saat itu,” lanjut Mas Andre.
Aku menunduk. Lantai yang kuinjak rasanya tak bersahabat, seakan dia menertawaiku dan mengatakan, “Kau masih berbau kencur untuk jatuh cinta, Sin.” Aku semakin tak berkutik ketika Mas Andre memegang tanganku. Aku hela napas yang tinggal satu-satu karena napasku seakan benar-benar mau berhenti. Aku berusaha tenang meski sebenarnya aku tak dapat memungkiri perasaanku. Kulepas sedikit demi sedikit genggaman tangan Mas Andre.
“Kak, terima kasih atas ungkapan hati Mas Andre.” Tak kulanjutkan kalimatku. Tetes bening air mata meleleh pelan di pipiku. Mas Andre mengusap lembut pipiku dengan sapu tangannya.
“Kenapa menangis? Apa aku salah, Put?” tanya Mas Andre.
Aku menggeleng. Kutatap Mas Andre. “Mas, hari- hariku telah terisi denan kebersamaan kita. Mas Andre ingat kan, saat Mas Andre memberi permen itu, sejak saat itu ada sesuatu yang lain yang kurasakan jika aku ketemu Mas Andre. Kalau selama ini aku menganggap Mas Andre sebagai kakak, itu karena aku anak tunggal, mungkin anggapanku salah, Kak. Karena aku kangen bila tidak ketemu Mas Andre. Benarkah aku jatuh cinta? Kalau aku benar jatuh cinta aku hanya berharap Tuhan menyatukan kita dalam kebahagiaan, tidak saling menyakiti.”
Mas Andre tersenyum. Dibelainya rambutku dengan kasih yang begitu lembut. Mas Andre berdiri, menggenggam tangan kananku dan mengajakku ke kantin. Digandeng mesra tanganku. Aku hanya menurut saja. Sementara banyak temanku yang berdehem-dehem menyaksikan kami berdua keluar dari ruang kuliah.
Aku bercerita semua masa laluku pada Mas Andre. Tentang Ahmad. Mas Andre memahamiku dan dengan kesabarannya dia selalu mendampingi hari- hariku saat aku kuliah.
Mas Andre telah benar-benar mengisi hari-hari hingga aku bisa benar-benar melupakan Ahmad. Awalnya ibuku tidak menyetujui hubungan kami. Aku terus meyakinkan ibuku agar bisa menerima Mas Andre.
Setiap kali liburan semester Mas Andre menyempatkan main ke rumahku. Tanggapan ibuku sangat dingin. Hanya bapak yang menemui Mas Andre dan mengajaknya berbicara.
Saat itu rasanya aku ingin menjauh dari Mas Andre karena sikap ibuku. Namun Mas Andre meyakinkan aku agar aku teguh. Dan aku pun tidak mau mengulangi kesalahanku yang dulu. Karena kegigihan Mas Andre akhirnya ibu merestui hubungan kami.
Suatu ketika Mas Andre mengajakku ke rumah orang tuanya. Ada rasa takut dan bercampur malu ketika aku diperkenalkan kepada orang tuanya. Ibunya menciumku dan memelukku seakan beliau sudah mengenalku lama. Aku dibiarkan Mas Andre bersama ibu dan adiknya di dapur. Aku gelisah karena aku masih merasa asing di rumah itu. Aku menunggu Mas Andre dan hanya bertanya-tanya dalam hati, ke mana Mas Andre pergi.
Betapa terkejutnya aku ketika aku melihat Mas Andre datang membawa pohon jagung yang telah ditebang. Dia menyunggi tanaman itu.
“Astaghfirullahalazim. Mas Andre?” aku terkejut.
“Nggak usah heran, Put, beginilah keseharianku di rumah. Sawah adalah temanku sejak kecil. Kami hidup dari pertanian. Kamu nggak usah terkejut jika aku seperti ini,” jelasnya.
Aku tak bisa bicara, antara sedih dan kaget. Ternyata Mas Andre yang kukenal di kampus beda dengan Mas Andre yang kulihat sekarang. Mas Andre di kampus adalah mahasiswa yang sangat pandai dan tidak terlihat sama sekali kalau kesehariannya seperti ini. Bercampur rasa dalam hatiku.
Tapi aku bangga dengan Mas Andre. Dia bisa menjadi teladan bagi semua. Di tengah prestasinya yang menjulang di kampus, ternyata dia tidak malu membantu ibunya mengerjakan tugas-tugas di sawah. Aku semakin yakin dengan pilihanku.
Akhirnya kami menikah. Kami menetap di sebuah kota kecil yang sejuk yaitu Salatiga karena suamiku ditempatkan di Salatiga. Dari pernikahan kami, Allah memercayai kami dengan 2 anak laki-laki dan 1 anak perempuan.
Penulis : Puji Prasetyowati