Di sebuah rumah sakit di tahun 2017. Suara ruang ICU siang itu menambah bergejolaknya hati Puji yang sedang menunggu kondisi anak keduanya. Puji mendekap putri tercintanya yang sejak dua hari menemaninya di ruang tunggu ICU. Ada tetesan air mata meleleh di pipiya. Putri kecilnya mengambil tissu yang berada di depan mereka seakan ingin menghapus duka ibundanya. Sementara suaminya masih berada di kantor karena ada beberapa tugas yang memerlukan suaminya.
Sekitar pukul 10, perawat memanggilnya. “Keluarga Laksmana,” begitu panggil perawat. Puji bergegas bangkit menuju ruang perawat. Putri kecilnya dititipkan pada seorang ibu yang sama-sama menunggu di ruang ICU tersebut. Dalam ruang ICU sudah menunggu dokter yang merawat Laksmana. Puji menggeser kursi dan mendekat dengan dokter yang telah menunggunya.
“Ibu, kami mohon maaf, kondisi putra ibu belum berubah semakin melemah, siang ini kami rencanakan untuk merujuk putra ibu ke RS Sardjito Yogyakarta,” kata dokter mengawali.
Bumi seakan berhenti berputar. Kursi yang didukinya rasanya hampir menjatuhkan badannya. Kembali disekanya air matanya. Puji mengambi nafas panjang dan istigfar 3X.
“Baiklah Dok, kalau memang itu yang terbaik untu anak saya, lakukanlah,” jawab Puji dengan mantap meski hatinya menangis.
“Suami ibu ada di sini?” tanya dokter Listya kemudian.
“Suami saya masih di kantor Dok,” jawab Puji.
“Baiklah, ibu segera hubungi suami ya, karena putra ibu harus segera saya pindahkan. IsyaAllah putra ibu akan segeara mendapat pertolongan. Saya sudah menghubungi teman saya yang sekarang bertugas di UGD Sarjito,” jelas dokter menenangkan hati Puji.
Segera ditelponlah suaminya dan tanpa berpikir panjang sang suami segera meluncur ke rumah sakit. Sementara itu Puji juga menelepon putra sulungnya dan mengabari bahwa adiknya akan dibawa ke Yogya. Sang kakak pun segera meluncur ke rumah sakit menemui ibunya. Setelah berkemas dan mendengarkan pesan-pesan ibunya, mereka bersiap membawa barang yang akan dibawa ke Yogya. Laksmana dengan kondisi yang belum stabil sudah masuk ke ambulans. Suaminya sudah ada di tempat parkir ambulan.
Sang kakak hanya bisa memandang adik dan ibunya dalam ambulans dan sang ayah dengan adik bungsunya dalam mobil yang lain. Mungkin hatinya saat itu juga menangis karena dia pun di rumah sendiri. Ambulans dan taruna merah menembus hujan lebat yang disertai angin menuju RS Sardjito. Kemacetan terjadi di beberapa lajur Magelang Yogya. Untunglah ada petugas sosial dengan berkendara supra X menembus kemacetan dan memberi tanda bagi pengendara lain untyk memberi kesempatan bagi ambulan da taruna merah untuk melaju. Bangjo yang ada di beberapa persimpangan seakan tak dihiraukan sopir ambulans dan pengendara berhati emas itu. Pengendara Supra X itu seakan malaikat yang dikirim Allah untuk menolong kelancaran perjalanan ambulans mengantar pasien. Sungguh sebuah pertolongan yang tak pernah terduga sebelumnya.
Sambil memegang tangan putra keduanya, istighfar tiada henti dilantunkan dari bibir Puji sambil sesekali mengelap pipinya. Perawat yang mendampingi mereka pun larut juga dalam suasana itu sambil sesekali memeriksa kondisi alat-alat yang terpasang di tubuh Laksmana. Setelah menempuh perjalanan 1,5 jam sampailah mereka di depan IGD RS Sardjito. Pengendara motor berhati mulia itu melambaikan tangan pada kami di dalam ambulans. Entahlah, mungkin itulah malaikat yang dikirim Allah siang itu. Sebenarnya Puji ingin sekali bertemu dengan pengendara sepeda itu, namun tak ada waktu rasanya, begitu cepatnya pengendara itu membelokkkan sepedanya begitu ambulans memasuki area UGD. Hanya doa yang bisa Puji berikan untuk pengendara tersebut, biarlah Allah yang memberikan balasannya, begitu batin Puji. Puji kembali focus pada putranya.
Dengan cekatan petugas segera menangani Laksmana. Sementara Puji diminta untuk mengurus administrasi. Dengan kekuatan yang masih tersisa, Puji segera mengurus administasi perawatan putra tercintanya. Tak dipedulikan kondisinya sendiri saat itu, dalam hatinya hanya ada satu tekad, putranya harus sembuh, sembuh. Setelah menyelesaikan administrasi, Puji menunggu di depan ruang IGD. Suami dan putri kecilnya menghampirinya. Taka da pembicaraan di antara mereka. Semua terlarut dalam suasana.
Dokter keluar dan menjelaskan kondisi Laksmana. Puji masuk mengikuti dokter. Air mata yang masih meleleh di matanya, dilap dengan kerudung yang dipakainya. Dia tak ingin putranya meihat dia menangis. Puji masuk melihat putranya yang terbujur lemas di ruangan itu.
“Ibu..” panggil Laksmana.
Dipeluknya Laksmana. Puji tersenyum.
“InsyaAllah Mas Laksmana kuat, semua akan baik-baik saja. Allah akan menjaga kamu, melalui dokter-dokter yang dikirim untukmu,” dikuatkan hati Laksmana. Digenggamnya tangan putranya untuk menguatkan, dan diciumnya dengan penuh kasih.
“Ibu, Laksmana harus kami pindah ke ruang PICU karena kondisinya belum stabil,” kata Dokter. “Apa itu ruang PICU?” tanya Puji.
“PICU itu ICU untuk anak bu,” kata dokter.
Puji hanya mengangguk dan memberi tahu suami dan putrinya yang duduk menunggu di luar ruang IGD. Puji segera masuk ruang kembali dan dia segera mengikuti beberapa dokter muda yang membawa Laksmana ke ruang PICU. Langkahnya dipaksa untuk setengah berlari mengikuti langkah para dokter tersebut. Dalam waktu 10 menit sampailah di ruang PICU. Dokter membawa Laksmana masuk dan Puji hanya menunggu di ruang tunggu ICU tersebut bersama bebepara keluarga pasien lainnya.
Penulis : Puji Prasetyowati