Siapa yang tak kenal dengan KH. Abdurrahman Wahid (GUS DUR) di bumi Indonesia ? ya, walaupun di generasi yang sekarang ini. Tentu kita tak membutuhkan sebuah jawab atas pertanyaan di atas. Siapapun mafhum bahwa GUS DUR, sapaan akrabnya adalah seorang Kiai nyentrik, nyeleneh, unik, kontroversial, pluralis sejati, penebar humor, dan mungkin masih banyak gelar lain. Pasca wafatnya pada 31 Desember 2009, Presiden RI-4 ini mendapatkan perhatian lebih dari masyarakat, dari berbagai lapisan. Saya masih ingat, beberapa kampus di Indonesia mengadakan acara Diskusi serta Kajian tentang beliau (Almarhum GUS DUR).
Dalam benak saya bertanya, apa yang perlu dikerjakan setelah era GUS DUR ? Inilah tantangan berat bagi kita (Para Gusdurian: fans Pemikiran GUS DUR). Tak bisa dimungkiri, demi menjaga keutuhan Indonesia butuh sosok-sosok seperti beliau (Almarhum GUS DUR). Tak lain agar “estafet keteladanan” GUS DUR selalu dan terus menggema. Bahwa ada yang patut diperjuangkan ketimbang sekedar menuruti hawa nafsu keduniawian. Kita butuh bangkit dengan cepat, mencari “GUS DUR – GUS DUR” baru.
GUS DUR adalah sosok seorang multi-talenta. Beliau (GUS DUR) adalah sosok pejuang tangguh, pejuang sekaligus penegak demokrasi, pejuang hak asasi manusia, seorang pluralis ulung, sekaligus pembela kaum lemah. Disaat para elite politik sibuk berebut kursi kekuasaan untuk menjadi pejabat, ia (GUS DUR) lebih memilih menjadi rakyat biasa. Di saat para pejabat tak memperdulikan nasib rakyat yang tertindas, dia (GUS DUR) justru bangkit membela. Di saat akademisi menganggap sebuah pemikiran itu final, ia (GUS DUR) justru mempertanyakan ulang pemikiran tersebut, tanpa lupa mengkritisinya.
Pemikiran GUS DUR yang “melintas batas” tradisi dan budaya inilah yang menjadikannya disegani oleh banyak pihak, baik kawan maupun lawan.mungkin, bolehlah saya katakan bahwa; bukan GUS DUR namanya, jika tidak melontarkan kritik pedas & serta penuh humor dalam tiap ucapan dan tulisannya. Itulah keunikannya, mengkritik sekaligus memberi solusi dan memberi sedikit bumbu humor. Seperti disalah satu acara tv swasta, Kick Andy; beliau (Almarhum GUS DUR) menyampaikan: “Bangsa ini penakut, karena tidak mau menindak mereka yang bersalah..”
Secara “etos kerja” dan visi kebudayaan dalam ranah pemikiran Islam dan kebangsaan, bangsa ini sebenarnya berhutang banyak pada sosok seorang yang bernama GUS DUR ini. Bagaimana tidak, tak ada dalam catatan sejarah Indonesia, seorang presiden (kepala negara sekaligus kepala pemerintahan negara) yang presidennya berasal dari “kaum sarungan” yang memiliki pemikiran yang luar biasa cemerlang, melintas batas, membela kaum yang lemah dan tertindas. Namun sungguh ironis, ketika giliran GUS DUR diangkat menjadi presiden ke-4 RI, kesukaan beliau banyak bersilaturahmi kesana-kemari, yang justru banyak lawan-lawan politiknya mencurigai GUS DUR sebagai presiden yang menghambur-hamburkan uang negara. Padahal GUS DUR memiliki maksud lain yang ternyata justru lebih mulia.
GUS DUR menurut saya adalah laksana “dentuman besar” yang mampu mengubah cara pandang begitu banyak orang yang ada di lingkungannya, pemikirannya yang “nakal” dan menggelitik, serta diselingi dengan gelak humornya yang khas. Sehingga tidak salah bila GUS DUR ternyata menjadi “kaca benggala” bagi kawan maupun lawannya.
Selain hal itu, banyak sekali sumbangsih GUS DUR terhadap negara ini. Diantara salahsatu sumbangan terbesar bagi masyarakat Indonesia adalah bahwa sudut pandang GUS DUR tentang etos kerja dan visi kebutuhan, khususnya Konsep Islam dan Kebangsaan sangat menonjol. Etos kerja yang saya maksud disini adalah semangat berkreasi, berinovasi, serta berprestasi. Sedangkan Visi Kebudayaan yakni konsep Islam dan Kebangsaan yang saya maksud adalah Visi serta Misi untuk “mencandra” keberagaman budaya, menyejajarkan kesamaan derajat, tanpa memandang ras, suku, agama, etnis, warna kulit. Sehingga GUS DUR memang benar-benar sosok seorang “pluralis sejati”. Keduanya harus berjalan secara seiring dan seirama, agar tidak terjadi kesalahpahaman publik.
Salah satu sikap kebudayaan GUS DUR yang mengesankan adalah dua hal. Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh sosok pemikir yang saya sangat nge-fans dengannya, yakni: Dr. KH. Ulil Abshar Abdalla, M.Hum. (Menantu KH. Musthofa Bisri / GUS MUS). Menurut GUS ULIL (sapaan akrabnya). Pertama, ia (GUS DUR) tidak pernah bersikap apologetik terhadap tradisinya sendiri. Yaitu tradisi Pesantren & jatidiri seorang santri. Meskipun bahwa GUS DUR terlahir dari kalangan pesantren, akan tetapi GUS DUR mampu mengkomunikasikan “tradisi pesantren” tersebut ke publik luas. Antara lain seperti lewat tulisan dan kolom yang tersebar di banyak media. Kedua, disisi lain GUS DUR tidak “kikuk” ketika berhadapan dengan dunia modern. Sehingga, baik dunia pesantren maupun dunia modern, dia hadapi dengan sikap rileks dan santai.
Sehingga, mencari sosok yang hampir mirip dengan GUS DUR di era kini, rasanya sulit bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami. Namun, karakter orang yang hampir mirip dengan GUS DUR, harus segera “dimunculkan” di bumi pertiwi ini. Jika tidak, negara ini bisa “semrawut” karena sosok “GUS DUR Baru” harus memiliki visi misi yang jelas dan seimbang. Seimbang antara pemenuhan pribadi dan pemenuhan ummat. Wallahu A’lamu Bi Al-Showab.
Tuntang, 22 September 2020
Heru Supriyanto, Guru Pendidikan Agama Islam SMKN 1 Tuntang