Aku sudah ditunggu di bandara oleh suami dan ketiga anakku. Kupeluk mereka satu persatu. Pelukan kerinduan dari seorang ibu dan istri.
Sesampai di rumah aku mencari waktu yang pas untuk bercerita pada Mas Andre, suamiku. Malam itu sebelum tidur aku memulai pembicaraan. Aku awali dengan permohonan maaf dan kuceritakan semua peristiwa yang telah kualami selama aku di Bandung. Suamiku mengambil napas panjang dan memeluk diriku. “Sudahlah, masing-masing insan punya cerita yang berbeda dan tidak bisa dihapus. Lupakan dan hadapi kenyataan bahwa sekarang kita bersama. Jalan surga terbentang untuk kita tanpa harus kita nodai dengan apa pun. Aku memahami perasaanmu. Tenanglah, yakinlah bahwa Allah telah mempertemukan kita untuk selamanya bersama,” jawab suamiku menenangkanku.
“Maafkan aku juga jika aku belum bisa membahagiakanmu,” kata Mas Andre.
Aku tutup mulut Mas Andre dengan ketiga jariku.
“Kamu terlalu lembut untuk aku marahi. Aku tidak bisa marah, jika melihat keteduhan matamu. Aku salut pada dirimu, yang mampu menutupi segala kegundahan hatimu. Aku yakin kamu wanita yang kuat, kuat menjaga diri dan hatimu hanya untuk suami dan anak-anak kita,” kata Mas Andre.
Aku mengangguk dan memeluknya. Aku memang bersalah telah mengingat kembali masa laluku tapi aku pun harus kuat sesuai pesan Mas Andre. Aku kuat, ya aku kuat.
“Terima kasih Ya Allah, Engkau kuatkan hatiku, Engkau jaga hatiku.”
Di awal menapaki masa senja ada sedikit liku berkelok yang membuat kami harus berhati-hati dan lebih saling memahami. Namun angin semilir begitu damai menghantarkan kekuatan cinta kami.
Penulis : Puji Prasetyowati