Pandemi COVID-19 membawa segudang konflik, tetap ada beberapa hal yang bisa diambil sebagai bahan evaluasi untuk memperbaiki tatanan hidup. Berikut ini empat poin evaluasi dari pandemi COVID-19 yang bisa dijadikan pelajaran di masa mendatang.
Yang pertama teknologi harus berkembang cepat. Virus corona merupakan jenis virus yang sangat cepat bermutasi. Bahkan, pandemi ini diprediksi dapat berlangsung sekitar 2-3 tahun lamanya dan kemungkinan akan menginfeksi 40%-70% populasi dunia. Virus corona berukuran sekitar 100 nanometer, menjadikannya sulit untuk dihindari. Maka dari itu, teknologi dituntut untuk berkembang lebih cepat, terutama dalam bidang studi seperti nanotechnology dan quantum physics.
Pembuatan vaksin dan alat-alat yang mampu memusnahkan virus corona dengan efektif sedang dikembangkan. Salah satu contohnya adalah sistem HVAC plasma (Heating, Ventilator, dan Air Conditioner) yang diyakini mampu untuk memusnahkan virus corona.
Selain itu, diperlukan juga inovasi teknologi dalam operasional dan proses bisnis, optimalisasi logistik, analisis data, serta penyebaran informasi yang lebih efektif. Hal ini agar segenap masyarakat tetap bisa beraktivitas meskipun harus “terjebak” di dalam rumah dan menghindari terjadinya mass hysteria akibat pandemi.
Yang kedua mencegah lebih baik daripada mengobati. Dalam kasus penanganan COVID-19 di beberapa negara, ada yang akhirnya membuka kembali bisnis dan memulai kondisi new normal setelah pasien COVID-19 menembus angka 0, ada juga negara yang sudah menerapkan protokol new normal meskipun angka pasien COVID-19 masih terus meningkat. Sebetulnya, yang membedakan kedua situasi ini adalah sikap masing-masing negara ketika COVID-19 baru saja muncul.
Sikap waspada inilah yang diperlukan agar bisa sepenuhnya menangani krisis pandemi dengan efektif. Tidak hanya pemerintah saja, tetapi masyarakat juga harus punya kesadaran untuk melindungi diri dari ancaman virus corona, seperti dengan patuh mengenakan masker ketika
bepergian, menghindari keramaian, dan selalu mencuci tangan dengan benar. Ketika sebuah negara mulai menyepelekan krisis pandemi, maka kurva pasien yang terjangkit virus akan sulit untuk dikontrol.
Memang trial and error tidak bisa dihindari, namun setidaknya langkah tegas bisa diambil untuk segera menanggulangi krisis pandemi. Hal yang tidak kalah penting adalah untuk tetap waspada walaupun sudah memasuki kondisi new normal, apalagi mengingat kemungkinan terjadinya second wave.
Yang ketiga krisis ekonomi semakin melebarkan jarak antar kelas. Pandemi COVID-19 membuat pergerakan ekonomi dunia menjadi “molor,” secara langsung berimbas pada angka pengangguran. Hal ini terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara di Eropa, juga negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Menurut data yang diambil oleh Statista, sekitar 500 juta penduduk dunia telah kehilangan pekerjaan mereka akibat pandemi.
Jarak yang semakin lebar antara kelas socioeconomic ini menjadi salah satu alasan utama mengapa protokol kesehatan tidak bisa diaplikasikan dengan efektif. Masyarakat yang tinggal di pemukiman kumuh dengan kondisi yang kurang layak tidak memiliki akses layanan kesehatan yang memadai dan kemampuan untuk melakukan physical distancing.
Bagi para pekerja dan pemilik usaha small-medium enterprises (SME), jelas akan lebih memilih untuk melanggar aturan work from home karena mereka kekurangan pendapatan. Oleh sebab itu, ketika memulai kondisi new normal, negara harus fokus terhadap langkah untuk menekan kasus COVID-19 sekaligus mempromosikan bisnis-bisnis lokal agar mampu menstabilkan kondisi ekonomi.
Yang terakhir saatnya melakukan transformasi digital. Jika sebelumnya seluruh pekerjaan perlu dilakukan di kantor dan harus berinteraksi langsung dengan orang lain, kini semakin dimudahkan dengan adanya ICT yang menghubungkan orang terlepas dari jarak yang jauh. Pekerjaan, edukasi, dan aktivitas sehari-hari bisa dilakukan dari rumah dengan dukungan koneksi internet. Secara garis besar, ICT berpengaruh besar terhadap produktivitas di seluruh dunia.
Sekarang ini, semakin banyak perusahaan yang beralih ke proses bisnis digital yang tentunya lebih efektif dan mampu mengurangi budget operasional. Terutama dengan adanya pandemi ini, adanya inovasi ICT memudahkan orang untuk tetap produktif sekaligus mengurangi kontak fisik. Contoh dari langkah-langkah menuju transformasi digital adalah menggunakan software tools untuk membantu pekerja, otomatisasi dengan mesin, dan menggunakan “big data” untuk mengurangi limbah dan meningkatkan kualitas.
Akan tetapi, hal ini tidak akan mungkin terjadi bila masyarakat sendiri masih belum memiliki 21st Century Skills. Fungsi dari 21st Century Skills adalah untuk mempersiapkan diri akan perubahan yang mendadak dan kondisi kehidupan yang baru. The 21st Century Skills ini termasuk kemampuan ICT, sains, critical thinking, kemampuan adaptasi, dan masih banyak lagi. Jadi, sudah waktunya untuk meningkatkan kualitas SDM negara dan teknologi yang digunakan.
Penulis : Nunung Fika Amalia, S.Pd, Guru SMKN 1 Tuntang
Editor : Nurul Rahmawati, M.Pd, Guru SMKN 1 Tuntang